Aku dan kamu berhubungan dengan judul teman, lalu sahabat. Lalu apalagi? Aku sendiri bingung. Setiap kita bertemu, aku merasa kita ditakdirkan untuk bersama. Aku percaya pada pikiranku, tapi hatiku berkata lain. Aku selalu senang memandangi wajahmu disaat apapun dengan berbagai ekspresi yang kamu tunjukkan. Marah, sedih, bahagia, kecewa, bahkan ekspresi wajahmu saat kamu sedang kebingungan. Terlihat polos dan menggemaskan seperti anak kecil yang berusaha keras untuk mengerti semua kelakuan orang dewasa.
Diam-diam, aku mulai menyukaimu.
Diam-diam, aku mulai rindu dengan senyummu dan obrolan ringan kita tentang semua hal yang meintas didepan mata kita.
Diam-diam, aku mulai sering mencarimu hanya untuk membagi kebahagiaanku, walaupun hanya sedikit... Sedikit sekali, yang penting aku berbagi denganmu.
Diam-diam, aku mulai terdengar seperti ibumu saat kamu sedang sakit. Karena yang aku mau adalah melihatmu seperti biasanya menjalani hidup kamu dengan semangat yang entah kamu sadari atau tidak, dapat dengan mudahnya menular padaku.
Diam-diam, aku selalu mencoba melindungimu dari apapun yang mungkin membuatmu sedih, dari apapun ketakutanmu dan apapun yang membuat kamu mengerecutkan bibirmu, walaupun hanya untuk sedetikpun... Aku tidak rela.
Diam-diam, aku mulai mencintaimu....
Ya, semua itu hanya diam-diam. Karena apa yang aku lakukan semuanya adalah demi suatu kata yang namanya Persahabatan. Ya, persahabatan kita. Persahabatan kita terlalu indah untuk kuubah menjadi suatu hal bernama cinta. Cinta yang begitu rapi kusimpan, dan ku kunci rapat-rapat. Tapi aku melupakan tempat ku menyimpan kuncinya. Hingga aku tak bisa lagi mencari cinta yang lain, selain cinta diam-diamku ini. Ya, kuberi nama cintaku ini - cinta diam-diam.
Kamu tau? Aku sangat tersiksa menjadi seperti ini. Aku benci menjadi seperti ini. Karena aku tak punya daya untuk semua ini. Saat aku terpikir untuk mengatakan cinta diam-diamku ini kepadamu, hatiku tak ingin berkompromi. Dia tetap setia menyimpannya, walau jiwaku serasa ingin meledak, memaki hatiku dan kebodohan otakku. Jiwaku yang egois, tidak pernah memikirkan pertahanan hatiku. Hatiku terlalu malu untuk membiarkanmu tau tentang cinta diam-diamku. Karena dia tau, hatimu sudah terikat dengan hati pilihanmu.
Aku sudah berusaha mencari kuncinya kemana-mana. Tapi yang ada hanya pengingkaran. Dan yang ku tau, aku harus berdamai dengan diriku sendiri, agar aku mengingat tempatku menyembunyikan kuncinya. Ya, berdamai dengan hati, jiwa dan pikiranku agar mereka bersekutu untuk menghilangkan cinta diam-diamku.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lina.
Nangis membaca ini. Kisah yg sama persis sedang saya alami.. Memang hanya bisa berusaha berdamai dg keadaan. Terima kasih tulisannya..
ReplyDelete